Karangan MAJALAH JENDELA SMK SATYA WIDYA Surabaya
KEMATIAN.
Karya : Rizky Nurhasanah.
Bangun kesiangan di atas ranjang empuk yang nyaman seharusnya membuat mood pagi hari jadi lebih baik. Tapi… sayangnya otak ku berkata lain. Pagi yang aneh. Sungguh. Aku menyadari benar akan hal itu. Hanya indra kepekaanku saja sedang tumpul saat ini dan tak bisa digunakan. Untung lah sekarang hari Minggu.
Sedikit air hangat di bak mandi mungkin bisa menetralisir keanehan di sini. Itu yang kupikirkan.
Aku turun dari kamar yang berada di lantai dua. Dan dengan sangat cepat menuruni anak tangga alih alih untuk menghilangkan rasa kesemutan pada kaki. Sebenarnya sih, di kamar sudah ada kamar mandi. Aku turun hanya untuk memasak air.
Kau tau, Di rumah ini tidak ada tombol air panas lagi sejak kejadian mengerikan hari itu. Hari di mana, tunggakan bill air dan listrik memakan hampir seluruh tabungan ayah. Dan kami sekeluarga yaitu Ayah Ibu dan aku, harus rela berhemat selama hampir sebulan demi menghindari utang.
Jujur, hal itu disebabkan karna banyaknya kerabat yang datang menginap. Jadi bayangkan jika seluruh keran air di rumah ini—dengan 8 kamar mandi—dinyalakan. Maka apa yang terjadi pada bill air dan listrik. Ya, itu sudah berlalu. Aku sampai di dapur. Ada ibu rupanya.
“em…. Bu. Bisa masakin air anget buat mandi ?”
“………..”
“bu ?...”
Oke, rasa aneh itu kembali. Tidak biasanya ibu ku cuek saat di panggil. Apalagi yang memanggilnya itu berada tepat di sampingnya. Pakaian ibu juga aneh untuk ukuran waktu di pagi hari. Berjilbab dengan baju serba hitam. Hanya ada satu kemungkinan.
“ibu mau melayat ke rumah siapa ? aku ikut boleh ?”
“………..”
Lagi lagi tak ada jawaban. Beberapa gelas berisi teh kini sudah siap. Ibu menaruhnya di atas nampan dan membawanya pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun ke arah ku. Sebenarnya ada apa ?.
Penasaran dengan semua perasaan aneh ini, aku pun mengikuti ibu ke ruang tamu. Sampai aku menyadari bahwa semua tamu kami itu juga memakai pakaian serba hitam bahkan juga ayah. Wajah mereka jelas sekali sedang menahan tangis. Rasa panik ku memuncak saat melihat bendera tanda duka telah terpasang di depan gerbang rumahku.
“Apa? Siapa yang meninggal ?”
Dan suara bisikan ringan di telinga kananku berhasil memperjelas semuanya. Terutama ingatan suram tentang kejadian semalam. Kejadian di mana aku berlatih terlalu keras untuk lomba lari antar kota yang diadakan minggu depan.
Hanya aku yang mewakili kota surabaya tahun ini. Jadi waktu itu aku lah yang harus paling berusaha. Sayangnya tuhan berkehendak lain. Setelah latihan keras itu aku jatuh pingsan dan beristirahat total di rumah. Bukannya pulih, justru malah tak bisa bangun lagi. Semuanya telah berakhir. Seandainya aku mengingat kata kata ibu 'kesehatan juga sama pentingnya dengan latihan.' hal ini tak akan terjadi.
Isak tangisku pecah ketika sosok hitam dengan tongkat sabit itu kembali mengulang bisikannya.
" _Mari ikut denganku…..._ ”
* * * * *
Karya : Rizky Nurhasanah.
Bangun kesiangan di atas ranjang empuk yang nyaman seharusnya membuat mood pagi hari jadi lebih baik. Tapi… sayangnya otak ku berkata lain. Pagi yang aneh. Sungguh. Aku menyadari benar akan hal itu. Hanya indra kepekaanku saja sedang tumpul saat ini dan tak bisa digunakan. Untung lah sekarang hari Minggu.
Sedikit air hangat di bak mandi mungkin bisa menetralisir keanehan di sini. Itu yang kupikirkan.
Aku turun dari kamar yang berada di lantai dua. Dan dengan sangat cepat menuruni anak tangga alih alih untuk menghilangkan rasa kesemutan pada kaki. Sebenarnya sih, di kamar sudah ada kamar mandi. Aku turun hanya untuk memasak air.
Kau tau, Di rumah ini tidak ada tombol air panas lagi sejak kejadian mengerikan hari itu. Hari di mana, tunggakan bill air dan listrik memakan hampir seluruh tabungan ayah. Dan kami sekeluarga yaitu Ayah Ibu dan aku, harus rela berhemat selama hampir sebulan demi menghindari utang.
Jujur, hal itu disebabkan karna banyaknya kerabat yang datang menginap. Jadi bayangkan jika seluruh keran air di rumah ini—dengan 8 kamar mandi—dinyalakan. Maka apa yang terjadi pada bill air dan listrik. Ya, itu sudah berlalu. Aku sampai di dapur. Ada ibu rupanya.
“em…. Bu. Bisa masakin air anget buat mandi ?”
“………..”
“bu ?...”
Oke, rasa aneh itu kembali. Tidak biasanya ibu ku cuek saat di panggil. Apalagi yang memanggilnya itu berada tepat di sampingnya. Pakaian ibu juga aneh untuk ukuran waktu di pagi hari. Berjilbab dengan baju serba hitam. Hanya ada satu kemungkinan.
“ibu mau melayat ke rumah siapa ? aku ikut boleh ?”
“………..”
Lagi lagi tak ada jawaban. Beberapa gelas berisi teh kini sudah siap. Ibu menaruhnya di atas nampan dan membawanya pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun ke arah ku. Sebenarnya ada apa ?.
Penasaran dengan semua perasaan aneh ini, aku pun mengikuti ibu ke ruang tamu. Sampai aku menyadari bahwa semua tamu kami itu juga memakai pakaian serba hitam bahkan juga ayah. Wajah mereka jelas sekali sedang menahan tangis. Rasa panik ku memuncak saat melihat bendera tanda duka telah terpasang di depan gerbang rumahku.
“Apa? Siapa yang meninggal ?”
Dan suara bisikan ringan di telinga kananku berhasil memperjelas semuanya. Terutama ingatan suram tentang kejadian semalam. Kejadian di mana aku berlatih terlalu keras untuk lomba lari antar kota yang diadakan minggu depan.
Hanya aku yang mewakili kota surabaya tahun ini. Jadi waktu itu aku lah yang harus paling berusaha. Sayangnya tuhan berkehendak lain. Setelah latihan keras itu aku jatuh pingsan dan beristirahat total di rumah. Bukannya pulih, justru malah tak bisa bangun lagi. Semuanya telah berakhir. Seandainya aku mengingat kata kata ibu 'kesehatan juga sama pentingnya dengan latihan.' hal ini tak akan terjadi.
Isak tangisku pecah ketika sosok hitam dengan tongkat sabit itu kembali mengulang bisikannya.
" _Mari ikut denganku…..._ ”
* * * * *
Komentar
Posting Komentar